Banyak hal yang menjadi pertimbangan bagi
konsumen untuk memilih, membeli, dan mengonsumsi makanan, baik untuk dirinya
sendiri, anggota keluarganya, maupun orang lain yang menjadi tanggung jawabnya.
Cita rasa jelas menjadi faktor utama, selanjutnya pertimbangan harga,
kepraktisan penyajian, kemudahan mendapatkan, dan manfaat bagi kesehatan bisa
berubah urutannya tergantung kondisi konsumen.
Masyarakat dewasa ini semakin meyakini bahwa
melalui konsumsi makanan mereka bisa memelihara kesehatan dan menghindarkan
diri dari risiko menderita sakit. Mereka yang berusaha mengendalikan kadar
kolesterol darah berusaha menghindari lemak hewani. Yang ingin menjaga struktur
tulang yang kokoh akan mengutamakan, misalnya, mengonsumsi susu sebagai sumber
kalsium. Yang ingin mencegah risiko kanker usus besar (kolon) akan mengonsumsi
makanan berserat. Yang ingin mengendalikan berat badan akan memperhatikan nilai
kalori makanannya.
Pemahaman masyarakat tersebut muncul karena
advokasi atau rekomendasi dari para ahli berbagai asosiasi profesi yang
berkaitan dengan makanan dan kesehatan hampir di seluruh dunia, termasuk di
Indonesia. Rekomendasi tersebut disebarluaskan sebagai upaya untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat melalui konsumsi makanan. Namun, masyarakat juga sering
bingung ketika dihadapkan dengan kenyataan bahwa jenis makanan yang sama
dikonsumsi oleh individu yang berbeda menimbulkan efek yang berbeda pula.
Hal yang kurang disadari adalah walaupun
secara genetik memiliki kesamaan hingga 99,9 persen, semua manusia masih
menyisakan 0,1 persen perbedaan yang justru menjadi pembeda antarindividu.
Dengan kata lain, bisa dipahami bahwa tidak ada dua individu yang semuanya sama
persis sekalipun mereka saudara kembar. Dalam perjalanan usia tidak ada dua
individu yang memiliki "sejarah" makan dan kegiatan yang sama persis.
Demikian pula kondisi psikologis dan fisiologis tubuh manusia tidaklah stabil
selama 24 jam.
Hal-hal inilah yang ditengarai sebagai penyebab
kenapa penelitian menggunakan hewan coba ataupun manusia hasil- hasilnya sering
saling kontradiksi. Lebih parah lagi kalau perbedaan hasil penelitian ini
diatasi dengan saling menyalahkan antarpeneliti.
Hubungan antara konsumsi makanan dan
beragamnnya respons pada berbagai individu dengan latar belakang genetik yang
berbeda sudah lama diketahui, misalnya pada kasus galaktosemia dan
phenylketonuria (PKU). Galaktosemia, pertama kali ditemukan tahun 1917 oleh F
Goppart, adalah varian genetik di mana individu sejak lahir tidak memiliki
kemampuan memetabolisme galaktosa (tidak memiliki aktivitas enzim
galaktosa-1-phosphat uridyltranferase).
Sebagai akibatnya pada individu ini jika
mengonsumi makanan yang mengandung galaktosa akan terjadi akumulasi galaktosa
dalam darahnya yang berimplikasi munculya berbagai gangguan kesehatan, termasuk
gangguan pertumbuhan mental. PKU, ditemukan tahun 1934 oleh Asbjorn Folling,
adalah varian genetik pada individu yang menyebabkan tidak adanya aktivitas
enzim phenilalanin hidroksilase.
Sebagai akibatnya pada individu ini jika
mengonsumsi makanan yang mengandung phenilalanin akan terjadi akumulasi
phenilalanin dalam darahnya yang bisa berakibat terjadinya kerusakan
neurologis. Namun, adanya kedua varian tersebut sudah bisa diketahui sejak dini
setelah lahir dan ditangani dengan mengelola makanannya agar rendah galaktosa
atau rendah phenilalanin.
Dengan semakin majunya perkembangan ilmu
gizi, biologi molekuler, genetika molekuler, patologi, toksikologi, fisiologi,
dan bioinformatika telah membawa kemajuan pengetahuan manusia menuju dunia ilmu
yang baru yang disebut Nutrigenomik. Nutrigenomik mempelajari interaksi antara
komponen bioaktif dari makanan dan pengaruhnya pada pola- pola ekspresi gen.
Dalam hal ini termasuk juga interaksi antara
komponen bioaktif dari makanan dengan sitesis protein, degradasi protein, dan
modifikasi protein yang keseluruhannya bermuara pada metabolisme sel. Munculnya
ilmu baru ini dilandasi oleh beberapa fakta yang telah diketahui hingga saat
terakhir ini.
Pertama, zat-zat kimia pada makanan
berpengaruh pada gen-gen manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung,
yang bisa mengganggu ekspresi gen. Kedua, dalam kondisi tertentu atau pada individu
tertentu, zat-zat bioaktif makanan bisa menjadi pemicu yang menyebabkan sakit.
Ketiga, sejauh mana zat makanan berpengaruh menyehatkan atau menyebabkan sakit
bagi individu tergantung pada kondisi genetik masing-masing. Keempat, konsumsi
makanan tertentu yang didasarkan pada pengetahuan kebutuhan gizi, status gizi,
dan genotipe individu bisa diarahkan untuk mencegah, mengendalikan, atau bahkan
menyembuhkan penyakit kronis.
0 comments:
Post a Comment