Kita biasa memperhatikan warna makanan yang akan kita
makan, karena kita tidak ingin ada warna lain dari makanan tersebut. Seringkali
warna makanan alami tidak menarik atau memang makanan tersebut tidak berwarna.
Dalam usaha membuat makanan lebih menarik untuk dijual
pada konsumen, para pembuatnya mungkin saja menambahkan pewarna makanan pada
produknya. Warna dari makanan dapat terjadi secara alami atau dapat juga ditambahkan pewarna
buatan.
Terdapat banyak pigmen alami, misalnya klorofil yang
memberikan warna hijau pada selada dan kacang polong, karoten yang memberi
warna jingga pada wortel dan jagung, lycopene memberi warna merah pada tomat
dan semangka, serta oksimioglobin yang memberi warna merah pada daging. Semua
pigmen alami ini dapat berubah karena bereaksi dengan oksigen yang terjadi
selama proses pematangan buah dan daging.
Panas yang berlebihan, bahkan proses mencincang dan
menggiling makanan, juga mengubah warna alami makanan dengan merusak sel dan
membocorkan pigmen keluar sehingga bereaksi dengan molekul O2. Salah
satu metoda mewarnai makanan secara buatan adalah menambahkan pewarna
sayur-sayuran.
Pewarna alami antara lain karamel, bit hasil dehidrasi,
minyak wortel, karoten, paprika, kunyit, serta riboflavin. Kebanyakan pewarna
ini diekstrak dari bunga atau daun tumbuh-tumbuhan. Kelompok pewarna terbesar
adalah zat organik sintetik, yakni sekitar 90% dari seluruh pewarna yang
dipakai dalam makanan.
Pada tahun 1856 diproduksi pewarna buatan pertama, dan
sejak saat itu beberapa ribu pewarna telah dibuat dalam laboratorium. Meskipun
banyak sekali pewarna yang dipakai dalam tekstil, cat, dan produk lain, namun
hanya sedikit saja yang diizinkan untuk dipakai dalam makanan.
Hampir semua warna dihasilkan dari zat kimia yang
ditemukan dalam minyak. Zat-zat kimia berwarna ditambahkan pada soda, keju,
mentega, margarin, es krim, campuran bolu, sereal, permen, sosis, dan ratusan
produk lain.
Zat kimia yang ditambahkan memiliki kekuatan pewarnaan,
warna yang seragam, dan stabilitas yang membuat makanan lebih menarik. Selain
itu, ketertarikan konsumen pada kehadiran warna tersebut membuat konsumen
membeli lebih banyak lagi, misalnya karena warna yang ditambahkan pada soda
membuat minuman tersebut tampak lebih kaya akan rasa buah. Kapanpun pewarna
ditambahkan pada produk makanan, dalam label harus dicantumkan apakah produk
tersebut menggunakan pewarna buatan yang diizinkan, atau pewarna yang berasal
dari sayuran dan warna alami.
Penggunaan pewarna dalam makanan diatur untuk menjaga
keamanan zat kimia yang dipakai atau mencegah penipuan konsumen, dan pewarna
dicantumkan pada label. Dahulu, sejumlah pewarna pada makanan, obat, dan
kosmetik sangat tidak aman.
Pada abad ke-19, permen bisa diwarnai oleh pigmen dari
timbal, arsen, tembaga, dan kromium, yang mengakibatkan sakit dan bahkan
kematian orang yang makanannya dalam jumlah besar. Tahun 1950-an ditemukan bahwa
beberapa zat kimia pewarna makanan yang telah diizinkan ternyata beracun,
kemudian semua pewarna yang diizinkan untuk makanan, obat, dan kosmetik, diuji
kembali untuk melihat apakah ada efek negatif. Selanjutnya, tidak ada lagi
pewarna yang boleh dipakai bila ditujukan untuk menutupi noda atau cacat,
menyembunyikan kekurangan, atau menipu konsumen.
Misalnya kunyit, yang dahulu digunakan untuk memberi
warna telur pada kue, tak dapat lagi dipakai sebagai zat pewarna untuk tujuan
penjualan yakni membuat pembeli mengira produk tersebut kaya akan telur. Selama
bertahun-tahun, pengujian zat-zat kimia pewarna menghasilkan penemuan sejumlah
zat beracun. Sejak saat itu, warna hitam karbon (carbon black) dan beberapa pewarna lain tidak lagi diizinkan untuk
makanan.
Beberapa pewarna makanan buatan yang diizinkan
0 comments:
Post a Comment