
Telah diketahui bahwa manusia memerlukan setidaknya 50
zat gizi yang mencukupi keperluan kesehatan. Semua zat gizi yang dibutuhkan ini
terdapat di alam atau bisa disintesis dalam tubuh dari zat-zat kimia yang ada
dalam makanan. Namun banyak orang di dunia yang tidak bisa mendapatkan makanan
yang layak dan menderita berbagai penyakit yang disebabkan kekurangan gizi.
Makanan yang dikonsumsi penderita kurang gizi bisa saja
kekurangan protein, karbohidrat, lemak, vitamin, atau mineral. Selama
bertahun-tahun para ahli kimia dan peneliti telah menentukan zat-zat gizi
tertentu yang dibutuhkan untuk mencegah beberapa penyakit.
Penelitian terus berlanjut untuk menemukan hubungan
antara zat gizi dengan pencegahan penyakit, misalnya yodium mencegah gondok,
zat besi mengurangi anemia, protein mencegah kwashiorkor, dan vitamin C
mencegah sariawan. Kemudian disadari bahwa berbagai zat gizi bisa ditambahkan
pada makanan, dan banyak zat gizi yang ditambahkan tersebut disintesis dalam
pabrik kimia. Ketika zat aditif ditambahkan pada makanan dengan tujuan
meningkatkan nilai gizi, maka makanan tersebut telah ‘diperkaya’ (fortified).
Fortifikasi makanan adalah proses penambahan zat gizi ke
dalam makanan, zat gizi yang ditambahkan biasanya merupakan vitamin dan asam
amino.
Vitamin adalah komponen makan pertama yang diproduksi
secara sintetik, yang kemudian di tahun 1930-an nilainya sebagai zat aditif
makanan potensial telah dibuktikan. Pada tahun 1939 direncanakan penambahan
vitamin tiamin (B1) yang dapat mencegah beri-beri ke dalam tepung, dan hal ini
dilakukan di Inggris selama Perang Dunia II, yang merupakan salah satu
fortifikasi makanan pertama yang dilakukan. Pada tahun 1950-an, penambahan
vitamin pada makanan telah tersebar luas, bahkan beberapa vitamin ditambahkan
pada makanan dalam jumlah besar (terutama dalam makanan bayi) sehingga
menyebabkan efek tak diinginkan seperti kehilangan nafsu makan atau
muntah-muntah. Karena efek negatif tersebut, dilakukan pembatasan jumlah
vitamin tertentu yang dapat ditambahkan pada makanan.
Selain vitamin, asam amino juga dapat disintesis dalam
laboratorium. Seperti diketahui, protein merupakan polimer kondesasi dari
asam-asam amino. Terdapat sekitar 20 asam amino yang seluruhnya diperlukan
dalam tubuh manusia. Sebagian besar asam amino dapat diperoleh dari protein
yang ada secara alami dalam makanan seperti daging, ikan, susu, telur, buncis,
serta sereal. Dimulai dengan mengunyah makanan, proses pencernaan terus
berlanjut ketika makanan masuk ke dalam lambung di mana enzim pencernaan
mengurai polimer protein menjadi asam amino.
Darah mengangkut asam amino menuju sel di mana terjadi
sintesis kembali asam amino menjadi ribuan protein yang dibutuhkan oleh tubuh.
Dari 20 asam amino, 10 di antaranya harus diperoleh dari makanan dalam bentuk
protein, sementara 10 sisanya bisa disintesis dalam tubuh yang berasal dari
asam amino lain yang ada dalam protein.
Asam-asam amino yang tak dapat disintesis dan harus
diperoleh dari makanan disebut ‘asam amino esensial’, yang bila bukan merupakan
bagian dari protein yang dimakan manusia maka tidak akan pernah dapat
diperoleh. Asam amino esensial bisa disintesis dalam pabrik kimia dan kemudian
ditambahkan pada makanan. Tidak ada perbedaan kimiawi antara asam amino
esensial yang terdapat dalam protein makanan dengan asam amino yang sama yang
dibuat dalam pabrik kimia. Penambahan asam amino sintetik pada makanan membuat
makanan tersebut kaya akan protein, mirip seperti daging.
Tepung terigu yang akan dikapalkan ke negara berkembang
telah ditambahkan asam amino lisin. Makanan hewan juga bisa ditambahkan vitamin
dan asam amino.
Asam amino sintetik yang digunakan dalam makanan
telah banyak meningkatkan nilai gizi makanan tersebut, baik makanan untuk
manusia maupun makanan hewan.
0 comments:
Post a Comment