Pada tahun 1996 suatu penelitian dilakukan di Bali untuk mengukur kadar yodium dalam sayuran dengan cabai dan masakan dengan menggunakan metode yodometri. Metode ini dapat mendeteksi yodium bila kadarnya paling rendah 10 ppm. Hasilnya, tidak ada yodium yang dapat dideteksi. Begitu melihat hasil ini peneliti langsung memaparkan hasil penelitiannya dalam suatu pertemuan, yang pada intinya menyatakan yodisasi garam untuk penanggulangan GAKY tidak ada gunanya.
Untuk mengetahui kebenaran dari hasil penelitian ini, Puslitbang Gizi juga melakukan penelitian yang sama, hanya metode yang digunakan lebih teliti yaitu dengan Wet Digestion yang kemudian dibaca dengan colorimetry. Dengan cara ini kadar yodium serendah-rendahnya 1 ppm dapat didieteksi. Hasilnya juga sama, namun karena menggunakan alat yang lebih sensitif masih 15 persen yodium yang terdeteksi. Hasil analisis ulang terhadap campuran garam beryodium 40 ppm dan 80 ppm juga serupa. Analisis pada masakan dengan dua jenis cabai yang berbeda serta penambahan cuka yang berbeda menunjukkan yodium yang masih dapat dideteksi berkisar antara 14 persen sampai 22 persen untuk penambahan garam dengan yodium 40 ppm dan antara 10 persen sampai 17 persen pada penambahan yodium 80 ppm.
Dengan penambahan cabai merah saja yodium yang terdeteksi hanya 22,9 persen pada yodium 40 ppm, namun hanya 17,3 persen pada yodium 80 ppm. Penambahan cabai rawit mengakibatkan yodium yang terdeteksi menjadi lebih rendah, dibandingkan dengan cabai merah. Pada kadar yodium 40 ppm yodium yang terdeteksi 17,9 persen, sedangkan pada yodium 80 ppm yang terdeteksi 15,1 persen.
Penambahan cuka ternyata juga memperkecil yodium yang dapat terdeteksi dengan metode Wet Digestion sampai 11,6 persen pada penambahan garam dengan kadar 80 ppm.
Berdasarkan temuan ini disimpulkan bahwa sebagian besar yodium hilang dalam pemasakan, terutama bila dimasak dengan cabai dan apalagi bila ditambah cuka. Beberapa mereka-reka kejadian ini dengan menghubungkan sifat yodium dalam bentuk I2 yang mudah menguap. Untuk menyelamatkan program yang sudah dilaksanakan dan mengurangi kesia-siaan dari yodisasi garam, keluarlah anjuran untuk membubuhkan garam setelah hidangan masak (matang). Usulan sederhana yang tidak sederhana seperti yang telah dibahas di atas.
Kebenaran penelitian
Namun, upaya pembuktian masih belum memuaskan semua orang. Hal ini didasarkan kepada fakta, contoh, dan bukti empiris dari penggunaan garam beryodium di dunia. Karena itu, pada tahun 1999 dua penelitian telah dilakukan oleh Puslitbang Gizi dengan bantuan dana dari Unicef.
Penelitian laboratorium yaitu dengan pelabelan di yodium dengan metode radio isotop untuk melacak yodium dari garam dalam masakan.
Penelitian epidemiolgi, mengukur kadar yodium dalam urine murid wanita SLTA di Yogyakarta (daerah bukan pengonsumsi cabai), Bukittinggi (daerah pengonsumsi cabai merah), dan Tombatu serta Kawangkoan di Sulawesi Utara (daerah pengonsumsi cabai rawit). Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan apakah yodium dalam garam yang dimasukkan ke dalam masakan masih dapat dimanfaatkan oleh tubuh.
Dua hasil penelitian ini saling menunjang. Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa yodium masih ada di dalam masakan, dan yodium yang masih ada dalam masakan dapat dicerna tubuh, yang ditunjukkan dengan tingginya kadar yodium dalam urine anak sekolah di ketiga daerah penelitian. Penelitian dengan yodium yang diberi label menunjukkan bahwa penggunaan cabai dalam masakan, 90 persen masih dapat dideteksi di dalam makanan. Penambahan cuka makan 25 persen selain cabai mengakibatkan yodium yang dideteksi masih 77 persen.
Penelitian kadar yodium dalam urine di tiga daerah menunjukkan yodium dalam urine murid perempuan SLTA masih tinggi. Median yodium dalam urine murid perempuan SLTA sampel masing-masing 212,5 mg/L, 174,0 mg/L, dan 129,0 mg/L, masing-masing di Gunung Kidul, Bukittinggi, dan Minahasa. Semua masih berada di atas batas 100 mg/L, yang menunjukkan bahwa wilayah yang bersangkutan tidak termasuk daerah kekurangan yodium.
Pertanyaan yang timbul adalah, kenapa dengan metode iodometri dan wet digestion hanya sedikit bahkan tidak ada sama sekali yodium yang dapat diidentifikasi dalam makanan dengan bumbu cabai dan apalagi ditambah cuka? Secara kasar kedua metode ini menggunakan dasar reaksi kimiawi, yang mengakibatkan munculnya yodium bebas.
Yodium bebas inilah yang dideteksi, baik dengan titrasi maupun colorimetry. Pada saat KIO3 berada dalam garam pengujian, dengan kedua cara ini akan memberikan hasil yang sangat baik. Karena dalam reaksi dengan asam kuat akan timbul yodium bebas yang dapat dideteksi dengan titrasi, dengan amylum, atau dengan colorimetri.
Namun, begitu dicampur dengan bumbu yodium membentuk ikatan kompleks, apalagi cabai yang mempunyai rumus kimia yang panjang, sehingga penambahan asam kuat pun sebagian besar yodium tidak terurai bebas, akibatnya tidak bisa terdeteksi dengan titrasi maupun colorimetri. Padahal yodium tidak hilang atau rusak. Hal ini terbukti dengan pelabelan yodium dengan menggunakan radio isotop, ternyata yodium terdeteksi berada dalam makanan yang bersangkutan.
Namun, pertanyaan lain muncul apakah yodium yang terikat dalam garam kompleks dapat dimanfaatkan oleh tubuh? Lebih jauh lagi, walaupun dalam pengujian secara kimiawi yodium tidak dapat dideteksi, namun dalam tubuh yodium dapat diserap, terbukti dengan kadar yodium dalam urine yang masih di atas 100 mg/L. Walaupun demikian, memang tidak semua yodium dapat dideteksi hanya 90 persen dan penambahan cuka mengakibatkan yodium yang terdeteksi hanya tinggal 77 persen. Namun, 77 persen sudah cukup memenuhi kebutuhan yodium bila digunakan garam dengan kadar yodium 30 ppm.
Kesimpulannya adalah bila digunakan garam dengan kadar yodium 30 ppm, maka konsumsi yodium 165 mg per orang per hari, yang masih lebih tinggi dari kebutuhan 150 mg per hari, walaupun ibu memasak dengan cara memasukkan garam selama proses pemasakan (tidak harus ditunggu setelah yang dimasak matang).